
Diskusikan Hasil Pengkajian Sastra: Kolaborasi Dosen-Mahasiswa Humaniora
HUMANIORA (9/9/2022) Fakultas Humaniora menyelenggarakan diskusi kolaboratif dosen dan mahasiswa pada Jumat, 9 September 2022. Melalui Laboratorium Kajian Bahasa dan Budaya (LKBB) Fakultas Humaniora, diskusi kali ini menghadirkan tiga narasumber dosen Fakultas Humaniora, yakni Whida Rositama, M.Hum., M. Anwar Mas’adi MA., dan Moh. Mahrus Ali, M.Sn. Masing-masing narasumber memaparkan hasil penelitian kolaboratifnya bersama mahasiswa Fakultas Humaniora.
Baca juga:
- Hadirkan Prof. Heddy, Humaniora Gelar Workshop Penelitian Linguistik Pascahumanisme
- Posthumanisme Sastra, Melampaui Postmodernisme
- Transformasi Diri Seorang Traveler
Moh. Mahrus Ali, M.Sn. salah seorang dosen Program Studi Sastra Inggris Fakultas Humaniora dalam kegiatan diskusi rutin ini memaparkan materi tentang genre film animasi anak “NUSSA” garapan rumah produksi Visinema dan studio animasi The Little Giantz. Dalam analisisnya, ia menggunakan teori genre Jane Stokes yang mengkategorikan film dalam enam hal, diantaranya setting, lokasi, ikonografi (style), peristiwa naratif, karakter, dan struktur.
Dalam kesempatan diskusi tersebut, Mahrus berkolaborasi dengan Isytifana Yaquti, mahasiswa Program Studi Sastra Inggris. Dalam analisisnya, ia mengidentifikasi potongan-potongan gambar dan dialog adegan film tersebut. Dari pemaparan Mahrus, terungkap bahwa karakteristik film animasi anak “NUSSA” bergenre drama, petualangan, dan komedi.
“Karakter genre yang dinamis terdapat dalam film ini, ditunjukkan melalui percampuran genre-genre lain dalam film ini seperti drama, petualangan, dan komedi.”, ujarnya.
Lebih dalam, Mahrus menjelaskan tentang ikonografi, peristiwa naratif, dan karakter tokoh dalam film tersebut. Sebagian besar tokohnya memakai gaya berbusana muslim. Adapun peristiwa-peristiwa naratif nampak dalam petualangan Nussa mengikuti lomba sains, dan konflik yang muncul seperti kedatangan Joni sebagai rival Nussa dalam membuat roket. Adapun karakter dari film ini merupakan tokoh protagonist dan struktur plotnya adalah linier yang bercerita persahabatan dan keluarga.
Masih dalam diskusi yang sama, Michael Fadlan Abdillah yang berkolaborasi dengan Whida Rositama, M.Hum. dalam diskusi tersebut memaparkan tentang kosmopolitanisme dalam karya film. Menurutnya, kosmopolitanisme merupakan sebuah penghubung relasi antarmanusia di dunia. Fadlan mencoba menghadirkan contoh konkrit penerapan kosmopolitanisme imajinatif yang terdapat dalam film 33 Postcards karya Pauline Chan, dengan tokoh utama Mei Mei, seorang gadis Tionghoa, dan ayah angkatnya, Dean Randall yang merupakan warga negara Australia.
Dalam pemaparan yang disampaikan Fadlan, terungkap bahwa kosmopolitanisme dialami saat Mei Mei berada di Australia. Ia dihadapkan dengan problem komunikatif, melalui sebuah proses korespondensi melalui media kartu pos dengan menggunakan bahasa Inggris.
“Tentu saja, mengembangkan bahasa Inggris yang bukan bahasa ibunya menjadi syarat mutlak bagi Mei Mei untuk dapat membangun komunikasi yang baik dengan Dean dan budaya Australia. Dari titik ini, kajian kosmopolitanisme menjadi focus kajian kami”, tutur Fadlan.
Menimpali paparan Fadlan, Whida Rositama mengatakan bahwa konsep kosmopolitan dalam film 33 Postcards merupakan jenis kosmopolitanisme general dan imajinatif, yang merepresentasikan fenomena kehidupan dalam dunia global, dengan melibatkan dua setting identitas dan budaya yang berbeda, Cina dan Australia.
“Kosmopolitanisme general di sini nampak dari upaya tokoh utama dalam menjunjung semangat moralitas yang inklusif dan kolektif, dalam upaya pembelajaran bahasa Inggris sebagai sarana berkomunikasi. Kosmopolitanisme imajinatif, bisa dilihat dari media yang digunakan sebagai sarana komunikasi, yaitu postcard. Yang jelas, ujung tombak keberadaan kosmopolitanisme pada film ini adalah terciptanya kesadaran yang integral untuk memahami adanya entitas lain dalam keberagaman dunia.”, tutur Whida.
Sementara itu, M. Anwar Mas’adi MA. yang berkolaborasi dengan Eva Laily Salsabila menjelaskan tentang defamiliarisasi karakter tokoh antagonis dan protagonis dalam novel Bidayah wa Nihayah karya Najib Mahfouz. Sebagaimana yang dipaparkan Anwar, novel Bidayah wa Nihayah karya Najib Mahfouz merupakan contoh karya sastra yang menggunakan banyak teknik defamiliarisasi di dalamnya. Najib Mahfouz menggunakan teknik defamiliarisasi untuk menyampaikan karakter tokoh yang ada di dalamnya.
“Teknik-teknik defamiliarisasi yang dilakukan Najib Mahfouz dalam membentuk novelnya, menganalisis hubungan antar tokoh, dan objek yang didefamiliarisasikan.”, ungkapnya.
Lebih dalam, Anwar menyebutkan bahwa Najib Mahfouz sangat konsisten dalam menyampaikan karakter tokoh dalam novelnya tersebut. Setiap-tiap teknik defamiliarisasi digunakan secara koheren dan mendukung satu sama lain.
“Karakter tokoh yang didefamiliarisasikan selalu berkaitan. Hal ini diperkirakan merupakan fokus utama Najib Mahfouz dari pengamatannya terhadap kehidupan sosial masyarakat Mesir.”, ungkapnya.
Dilaksanaknnya diskusi rutin ini, Ketua LKBB Fakultas Humaniora, Sri Muniroch, M.Pd. berharap bahwa diskusi rutin ini mampu memberikan kontribusi dalam menambah wawasan, serta meningkatkan kemampuan berfikir tentang pengkajian sastra, linguistik, dan pengajaran bahasa dan sastra dalam sebuah forum terbuka.
“Semoga melalui diskusi rutin ini kita mendapatkan tambahan wasasan mengenai pengkajian sastra, linguistik, serta pengajarannya melalui forum terbuka.”, harapnya.
Diskusi yang dipandu host Asni Furaida tersebut berjalan cukup serius dan hangat, meski berjalan secara daring melalui platform Zoom. Nampak peserta yang hadir tak hanya dari dalam negeri saja, namun sebagian mengikuti diskusi dari luar negeri. [al]